Catatan Lama: Terbunuh Sepi


Saya percaya hidup itu berjalan maju. Kalau andaikata bisa mundur, mungkin saya sudah kembali ke dalam rahim Ibu dan menikmati kehangatan uterus itu. Tapi toh kenyataannya tidak demikian. Saya masih maju, meski dengan gerakan slow motion. Terus terang begitu banyak kekecewaan yang telah saya temui dalam hidup. Hidup itu tidak adil, tidak memihak pada yang jujur, tidak setia pada yang benar…bla…bla…bla. Semua tentang hidup cukup mengecewakan. Dan seandainya ada reversal, saya ingin sekali kembali ke dalam rahim itu. Ketika hidup berarti berbaring tenang dalam kehangatan, makan dari darah Bunda, tidak perlu repot memikirkan apa yang harus dikerjakan besok, apa yang harus dimakan, bagaimana cara membayar rumah kontrakan, bagaimana cara pergi ke kantor dan semua tetek bengek lainnya yang sepertinya sepele tapi justru sangat essential.

Hidup yang saya tahu cukup jauh dari dewi fortuna. Contoh kecil saja. Saya nyaris tidak pernah betul-betul jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, malah mengalami rasa sakit yang sampai bertahun-tahun pun masih belum tersembuhkan oleh waktu sampai saya ingin sekali membunuh waktu. Lainnya, saya jauh dari yang namanya keberhasilan dari hidup yang mapan. Sampai setua ini saya hanya seorang pengelana yang masih tersesat tanpa peta apalagi kompas. Hanya mengandalkan kedua pasang kaki untuk melangkah setapak demi setapak tanpa jelas tujuan mana yang akan saya datangi. Hidup saya hanya sebuah adegan film bisu dalam slow motion. Tidak ada satu petunjuk sama sekali. Semua tampak blurry dan gelap. Tidak ada secercah cahaya pun. Tidak ada lilin apalagi terik matahari seperti di luar sana. Saya hidup dalam sebuah kotak kecil dimana ke kanan atau ke kiri saya akan terbentur tembok. Bahkan ke atas tidak akan ada langit biru yang menyejukkan. Ke bawah pun pijakan saya terbuat dari besi baja yang tidak dapat diruntuhkan, meski telah melompat-lompat bersemangat beribu kali.

Saya terjebak antara begitu banyak keinginan untuk maju tapi tidak mampu. Kata orang, semua pasti akan baik-baik saja pada saatnya. Tapi ah….orang tahu apa?! Toh banyak orang juga berada dalam posisi saya, dengan kadar kekecewaan yang berbeda-beda. Beberapa diantara mereka memilih mengambil jalan pintas dengan menelan berbutir-butir ecstasy untuk menenggelamkan rasa mereka dalam alunan musik trance atau techno. Beberapa lagi menelan berbutir-butir pil lainnya yang jauh lebih dashyat efeknya, mematikan aktivitas jantung seketika. Yang lainnya memilih cara yang lebih konvensional. Menggunakan gunting, silet atau pisau atau sejenis benda tajam lainnya. Menggoreskan alat itu di pergelangan tangan dan membiarkan darah menyembur keluar sampai kemudian tubuh mereka kering dan membiru. Sebagian lain yang tampaknya lebih berada memilih untuk menggunakan pistol yang biasanya tersimpan rapih dan aman di laci lemari. Biasanya untuk perlindungan saja. Yah…mereka pun menganggapnya sebagai perlindungan juga. Perlindungan dari rasa sakit yang berlebihan yang disebabkan oleh keadaan bernafas dan hidup.

Saya adalah seseorang yang terjebak diantara begitu banyak pilihan alat itu. Seandainya saya punya cukup keberanian untuk menyayat nadi dengan silet. Tapi saya selalu mempunyai semacam phobia dengan benda tajam. Lalu bagaimana bisa? Atau saya bisa nenelan berbutir-butir pil mematikan? Tapi rasanya juga tidak mungkin karena saya tidak bisa menelan pil. Semua pil dari dokter yang menjadi obat ketika saya diserang sakit biasanya harus saya hancurkan dalam air. Saya ubah menjadi bubuk lalu baru saya minum. Terus dengan apa? Saya tidak cukup kaya untuk membeli pistol. Dan tentunya alat yang satu itu tidak akan pernah bisa saya gunakan. Melihatnya dalam film-film action saja, saya sudah bergidik. Saya tidak pernah suka film action. Dan sekarang katakan, dengan apa sebaiknya saya mematikan rasa ini?

Kata orang lagi, jatuh cinta lah sebanyak-banyaknya. Too much love will kill you. Ah…lagi-lagi statement yang tidak bertanggung jawab. Mana mungkin jatuh cinta dapat membunuh. Mungkin hanya membuat segala rasa mati suri, tapi tidak cukup kuat untuk mematikan aktivitas jantung seketika, menutup mata dari segala realita yang ditawarkan hidup yang menyedihkan ini. Begitu banyak khayalan manusia berharap dapat memperbaiki kesalahan masa lalu yang kabarnya menjadi penyebab dari kejadian dalam hidup mereka di masa kini. Hukum karma. What you did is what you’ll get. Tapi kesalahan besar atau dosa besar apakah yang akhirnya membuat seseorang dapat begitu terbuang dalam hidupnya? Dapat begitu jauh dari pelukan dewi fortuna yang kabarnya murah hati dan dekat dengan siapa saja? Jangan bicara agama, karena saya percaya agama tidak lebih dari sebuah konsep untuk menghormati alam, leluhur dan nilai-nilai kebaikan yang mampu menuntun hidup ke arah yang lebih baik. Toh, dimanakah tangan Tuhan ketika bom meledak di Bali dan menewaskan ratusan orang? Meski mungkin mereka tidak bisa dibilang tidak berdosa. Dimana tangan Tuhan ketika bumi berguncang di Aceh dan air laut menggulung daratan dengan dashyatnya? Padahal orang-orang disana adalah kaum yang taat bahkan menyembah-Nya lebih dari 5 kali dalam sehari.

Saya tidak percaya pada kehidupan. Apalagi kehidupan abadi yang kabarnya akan didapatkan ketika kita berhasil menyeberangi titian rambut dibelah tujuh itu. Semua itu semacam khayalan berlebihan yang dibuat-buat manusia untuk mengobati luka mereka. Semuanya hanya ada di film ‘Highlander’ saja, tentang seorang manusia abadi asal daratan tinggi Skotlandia yang terus menerus diburu sesamanya. Bilamana tiba waktunya nanti, saya ingin memiliki keberanian untuk mengakhiri semua ini. Dengan apapun alat atau medianya. Saya ingin memiliki keberanian itu. Dan menyaksikan seluruh hidup saya berkilas balik dalam detik-detik terakhir saya merasakan roh saya keluar dari dalam tubuh dan meninggalkan dingin. Karena hidup sudah tidak memberikan makna, sudah tidak memberikan tujuan dan rasa yang saya cari lagi. Karena hidup sudah tidak memuaskan saya. Karena hidup tidak seperti yang saya bayangkan ketika bermukim dalam rahim. Lagi…karena saya tidak mencintai hidup seperti sebelumnya.

[Jimbaran, 19 Februari 2007…….diantara alunan nada dan suara miris Kaka Slank “Terbunuh Sepi”]